Entri Populer

Rabu, 06 Juli 2011

RELEVANSI DAN ELITISME PENDIDIKAN


Relevansi
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan
antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan
Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998),dan ke-109 (1999). Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan
tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih
banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat
dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan
kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh
setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya
manusia di negara-negara lain.

Untuk mengejar kemampuan unggul komperatif atau “Comperative Advantages” fungsi pendidikan dalam pembangunan ini perlu dialihkan dari fungsi kesejahteraan rakyat menjadi pemberian beban untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat agar mampu memeberi nilai tambah yang unggul kompeeratif, artinya produk tenaga kerja Indonesia mampu bersaing dai pasar kerja, baik dalam makna ekonomik, kultural (Noeng Muhadjir 1990:27). Relevansi pendidikan atau efisiensi suatu sistem itu dalam mematok tenaga-tenaga kerja terampil dalam jumlah yang memadai kebutuhan sektor-sektor pembangunan. Apabila kita melihat negara-negara yang berkembang tingkat pendidikan rata-rata dari pengangguran meningkat dari tahun ke tahun. Disaat pendidikan berkembang dengan pesat, hubungan tingkat pendidikan pengangguran dapat digambarkan sebagai kurva U terbalik (Blaug, 1974: 9).
Menurut data Balitbang Depdiknas2004, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memilikiketerampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilanyang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini dapat di nyatakan dengan data sebagi berikut.
Tabel
Relevansi dan Daya Saing








Sumber : Batlibang Depdiknas

Menurut Riwanto (1993 : 247) masalah tidak relevanya pendidikan kita bukan hanya disebabkan oleh adanya kesenjangan supply sitem pendidikan dan demand tenaga yang dibutuhkan oleh berbagai sektor ekonomi , tetapi juga disebabkan oleh ketidak pastian kurikulum sistem pendidikan kita diberbagai jenjang pendidikan. Dengan perkembangan deferensasi lapangan pekerjaan di dunia usaha danperkembangan iptek. (Tillar, 1991 : 7). Mutu sama halnya dengan memiliki kualitas dan bobot. Jadi pendidikan yang bermutu yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghsilkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini. Sedangkan relevan berarti bersangkut paut, kait mangait, dan berguna secara langsung.




Sejalan dengan proses pemerataan pendidikan, peningkatan mutu untuk setiap jenjang pendidikan melalui persekolahan juga dilaksanakan. Peningkatan mutu ini diarahkan kepada peningkatan mutu masukan dan lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan anggaran yang digunakan untuk menjalankan pendidikan.
Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor terpenting yang mempengaruhi adalah mutu proses pembelajaran yang belum mampu menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Hasil-hasil pendidikan juga belum didukung oleh sistem pengujian dan penilaian yang melembaga dan independen, sehingga mutu pendidikan tidak dapat dimonitor secara ojektif dan teratur.Uji banding antara mutu pendidikan suatu daerah dengan daerah lain belum dapat dilakukan sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga hasil-hasil penilaian pendidikan belum berfungsi unutk penyempurnaan proses dan hasil pendidikan.
Selain itu, kurikulum sekolah yang terstruktur dan sarat dengan beban menjadikan proses belajar menjadi kaku dan tidak menarik. Pelaksanaan pendidikan seperti ini tidak mampu memupuk kreatifitas siswa unutk belajar secara efektif. Sistem yang berlaku pada saat sekarang ini juga tidak mampu membawa guru dan dosen untuk melakukan pembelajaran serta pengelolaan belajar menjadi lebih inovatif.
Akibat dari pelaksanaan pendidikan tersebut adalah menjadi sekolah cenderung kurang fleksibel, dan tidak mudah berubah seiring dengan perubahan waktu dan masyarakat. Pada pendidikan tinggi, pelaksanaan kurikulum ditetapkan pada penentuan cakupan materi yang ditetapkan secara terpusat, sehingga perlu dilaksanakan perubahan kearah kurikulum yang berbasis kompetensi, dan lebih peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan juga disebabkan oleh rendahnya kualitas tenaga pengajar. Penilaian dapat dilihat dari kualifikasi belajar yang dapat dicapai oleh guru dan dosen tersebut. Dibanding negara berkembang lainnya, maka kualitas tenaga pengajar pendidikan tinggi di Indonesia memiliki masalah yang sangat mendasar.
Melihat permasalahan tersebut, maka dibutuhkanlah kerja sama antara lembaga pendidikan dengan berbagai organisasi masyarakat. Pelaksanaan kerja sama ini dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dapat dilihat jika suatu lembaga tinggi melakukan kerja sama dengan lembaga penelitian atau industri, maka kualitas dan mutu dari peserta didik dapat ditingkatkan, khususnya dalam bidang akademik seperti tekonologi industri
Pendidikan harus relevan dengan situasi dan kondisi saat ini, relevan dengan kebutuhan peserta didik dan masa depan peserta didik. Pada sisi manajemen dan pengelolaan, sekolah dapat dipandang sebagai suatu institusi sosial yang menjadi media proses penanaman nilai-nilai budaya dan kebersamaan hidup dalam keberagaman, maka pengembangan iklim sekolah seyogyanya mencerminkan kehidupan yang sesungguhya, yaitu bersatu dalam keberagaman, dan beragam dalam kesatuan. Untuk itu, dalam tahap tertentu, sekolah perlu memberikan peluang kepada peserta didik untuk saling bergaul dan terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat setempat. Namun pada saat pembelajaran dikelas, semua dikondisikan dengan aturan yang standar sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman perlu dikelola dengan baik sehingga muncul suatu keharmonisan bersama.
Dalam kaitan ini, keberadaan KTSP menjadi sangat penting dan strategis untuk membentuk watak dan karakter peserta didik yang menunjukkan tingkat apresiasi budaya dan semangat nasionalisme. Karenanya, sekolah tidak ubahnya seperti suatu keluarga besar yang penuh dengan suasana kekeluargaan (happy family). Iklim yang seperti ini dalam KTSP dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan akademik (pembelajaran berbagai mata pelajaran) maupun kegiatan pengembangan diri, misalnya melalui ekstra kurikuluer, seperti festifal budaya lokal, lomba kreasi budaya, melibatkan masyarakat dalam perancangan tata tertib disiplin dan sebagainya. Dengan demikian kurikulum sekolah tidak menjadikan anak terasing dari lingkungannya.

Elitisme
Yang dimaksud elitisme dalam pendidikan adalah kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah menguntungkan kelompok masyarakat yang kecil atau yang justru mampu ditinjau dari segi ekonomi. Hal ini biasanya berupa kesenjangan subsidi untuk mahasiswa pendidikan tinggi lebih besar dibandingkan dengan siswa sekolah dasar.
Kepincangan dalam pemberian subsidi pada siawa memang bukan monopoli sistam pendidikan yang ada di Indonesia, tetapi merupakan gejala umum, dan terutama di negara-negara berkembang seperti China, Thailand, dan Malaysia. Untuk negara-negara yang tergolong maju seperti Korea Selatan menurut laporan ADB (1984) menunjukkan hal yang berbeda untuk tingkat Perguruan Tinggi, dimana proporsi subsidi bantuan yang diberikan pada mahasiswa di negaranya semakin menurun (mengecil), ini membuktikan bahwa perlakuan dalam pemberian subsidi di negara tersebut sudah menganut pola keadilan merata. Namun demikian secara kumulatif subsidi yang diberikan pemerintah di negara-negara Asia pada umumnya memberikan proporsi yang lebih tinggi pada lembaga. Terungkap bahwa penumpukan siswa di sekolah tertentu dan penyusutan siswa di sekolah lainnya membuat kian senjangnya mutu pendidikan. Sebab, sekolah yang dihuni banyak siswa cerdas cenderung jadi unggulan. Sebaliknya, sekolah yang dihuni siswa yang tidak cerdas menjadi sulit berprestasi.


Menurut ( Tilaar, 1991:8) Yang dimaksud dengan elitisme dalam pendidikan ialah kencenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah mengguntungkan kelompok masyrakat yang kecil atau justru mampu ditinjau dari segi ekonominya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar